I. PENGENALAN HUKUM ADAT
A Istilah Kebiasan, adat dan Hukum Adat
Istilah kebiasaan merupakan istilah yang umum dipakai dlam kehidupan masyarakat. Selain itu juga ada istilah adat yang juga mempunyai persamaan dan perbedaan dengan kebiasaan. Dalam masyrakat minang dikenal istilah adt istiadat, adapt nantar adapt dan adapt nan diadatkan.
Istilah Hukum Adat berasal dari terjemahan Adatrecht, yang mula-mula dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven. Istilah yang dipergunakan sebelumnya dalam perundang-undangan adalah Peraturan Keagamaan (Godsdienstige Wetten) karena pengaruh ajaran Receptio in Complexu dari Van Den Berg dan Salmon Keyzer.
Pada masa Hindia Belanda ada Adatrecht (Hukum Adat) yang berlaku bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada KUH Perdata dan Gewoonte Recht (Hukum Kebiasaan) yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepada Hukum KUHPerdata.
Perbedaan istilah dan pengertian (Hukum Adat dan Kebiasaan) itu harus dihilangkan karena lambat laun tidak ada lagi perbedaan antara golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing melainkan hanya ada perbedaan Warga Negara Indonesia dan Orang Asing (Mahadi). Maka sebaiknya digunakan satu istilah saja yaitu Hukum Adat (sebagaimana yang telah dipakai dalam UUPA).
B. Pengertian Hukum Adat
Banyak pengertian atau difinisi Hukum Adat yang telah ditulis oleh para ahli Hukum Adat, tetapi disini hanya akan dikemukakan beberapa contoh saja. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu “hukum”) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu “adat”).
Menurut Soepomo, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif (non statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat maka Hukum Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.
Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Nasional tahun 1975 yang diselenggarakan atas kerja sama BPHN dan Fak. Hukum UGM mendifinisikan Hukum Adat sebagai :Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana sini mengandung unsur agama).
Pendapat Dosen mengenai Hukum Adat merupakan hukum rakyat (folk law) sebagai lawan hukum negara (state law) yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat dan diberlakukan untuk rakyat dan dilaksanakan secara sukarela oleh rakyat tanpa ada paksaan dari penguasa sehingga merupakan hukum yang hidup tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (the living law).
C. Ciri-ciri Hukum Adat
Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:
a. Religio magis/ Keagamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Adat. Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya sifat religius itu.
b. Kebersamaan
Berbeda dengan hukum barat yang berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleh kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan perorangan diabaikan.
c. Tradisional
Kata “tradisional” berasal dari kata benda “tradisi” yang menurut Myror Wemwr berarti: “the biliefs andpracticies handed down from the past, as we reinterpret our past, the tradition change”. Hukum Adat pada hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga masyarakat dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma yang diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang melanggarnya, norma yang dipraktekkan tersebut berasal dari warisan masa lalu yang selalu diperbaharui dengan diadakan reinterpretasi agar sesuai dengan tuntutan jaman dan keadaan serta perubahan masyarakat. Maka Hukum Adat yang tradisional itu tidak statis.
d. Konkrit
Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit, artinya nyata,
Dapat dirasakan oleh panca indra.
e. Terang, dan tunai,
Terang artinya tidak samar-samar, dapat dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain, misalnya pada “ijab kabul”, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli dan perkawinan.
Tunai artinya setiap ada perbuatan hukum terjadi secara bersamaan
antara penyerahan dengan penerimaan.
f. Dinamis dan plastis
Dinamis artinya dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
g. Tidak dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
h. Musyawarah dan Mufakat
Hukum Adat mementingkan musyawarah dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam keluarga, kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa. Hukum Adat, menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri, mengatur kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.
II. SISTEM DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT
A. Sistem Hukum Adat
Hukum yang berlaku pada masyarakat atau bangsa tertentu dapat dipastikan merupakan suatu sistem. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu masyarakat umumnya merupakan kebulatan tekad berdasarkan atas kesatuan alam pikiran masyarakat yang bersangkutan. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tentu saja tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat (Soepomo). Menurutnya antara sistem Hukum Adat dan Hukum Barat (Eropa Kontinental) terdapat perbedaan yang fundamental; antara lain:
1. Hukum Eropa Kontinental mengenal “hak kebendaan” (zakelijkrechten), yaitu hak atas sesuatu barang yang berlaku terhadap setiap orang (misalnya hak milik, hak hipotik). Di samping itu, Hukum Barat juga mengenal “hak perorangan” (persoonlijkrechten), yaitu hak orang seorang atas suatu obyek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu (misalnya hak sewa, hak pakai). Berbeda dengan konsep itu, Hukum Adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan tersebut. Perlindungan hak-hak menurut Hukum Adat diserahkan ke tangan hakim. Jika terjadi sengketa , maka hakimlah yang diberi kewenangan untuk menimbang berat ringannya kepentingan hukum yang saling bertentangan dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Sistem Hukum Eropa Kontinental mengenal pembagian hukum menjadi “hukum publik”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum dan “hukum privat”, yaitu hukum yang mengatur kepentingan khusus (perorangan/privat). Hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat dipertahankan eksistensinya oleh para individu yang berkepentingan.
Hukum Adat tidak mengenal pembagian hukum seperti di atas, jika akan dibedakan dalam Hukum Adat, maka pembedaan pada hukum ini akan didasarkan menurut obyek yang diaturnya, misalnya Hukum Tanah, Hukum Perkawinan, maupun Hukum Waris. Di dalam Hukum Adat hak-hak perdata yang dipunyai seseorang mengandung muatan hak publik. Implikasi persoalan seperti ini mempengaruhi kepada pembidangan hukumnya. Dalam Hukum Tanah misalnya diatur tentang hak milik, suatu hak yang dipunyai oleh seorang individu tetapi di dalam hak itu terkandung juga mempunyai fungsi sosial (ada muatan publiknya). Individu menurut Hukum Adat adalah sebagai anggota masyarakat, tetapi jika tanah miliknya diperlukan oleh masyarakat seyogyanya mendapatkan ganti rugi yang sepadan atau bahkan lebih dari itu sebagai imbalan pengorbananya.
3. Dalam Hukum Eropa kontinental dibedakan pelanggaran yang bersifat pidana sehingga hanya akan diperiksa oleh hakim pidana; dan pelanggaran yang bersifat perdata yang hanya akan diperiksa oleh hakim perdata. Menurut Hukum Adat apabila ada dua jenis pelanggaran (pidana dan perdata) yang dilanggar, maka pihak pelanggar aturan itu akan diperiksa dan diputus sekaligus dalam satu persidangan yang tidak terpisah. Dengan demikian diharapkan keseimbangan yang terganggu dalam kehidupan masyarakat dapat dipulihkan secara proporsional sekaligus.
4. Sistem accessie dan sistem pemisahan horisontal
Hukum Eropa Kontinental (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) menerapkan sistem accessie atas kesatuan benda, yaitu benda tambahan atau pelengkap mengikuti (menjadi satu dengan) benda induknya. Dengan demikian suatu benda pokok dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada benda tersebut (natrekking) secara otomatis menjadi satu kesatuan. Dalam Hukum Adat khususnya untuk benda-benda selain tanah diterapkan sistem accessie , sedangkan untuk benda yang berujud tanah dan benda-benda lain yang terletak atau tertanam pada tanah itu digunakan sistem pemisahan horisontal. Sistem Hukum Adat ini kemudian dipakai dalam UUPA, yaitu mengenai Hak Guna Bangunan (psl. 35), Hak Guna Usaha (psl. 28) maupun Hak Pakai seperti pada pasal 41 UU. No. 5 Tahun 1960.
5.Sistem common Law
Berlainan dengan sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Inggris (Common Law) banyak persamaannya dengan Hukum Adat. Djojodigueno menyatakan:”dalam negara Anglo Saxon, di sana sistem common law tak lain dari sistem hukum adat, hanya bahannya berlainan. Dalam sistem Hukum Adat bahannya ialah hukum Inidonesia asli, sedang dalam sistem common law bahannya memuat banyak unsur-unsur hukum Romawi Kuno, yang konon katanya telah mengalami “Receptio in Complexu”. Sistematika Hukum Adat mendekati hukum Inggris, yang tidak mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan dan tidak membedakan antara perkara perdata dan perkara pidana (Hilman Hadikusuma). Hukum Inggris juga mengenal peradilan yang menyelesaikan perkara secara damai yang disebut Justice of the Peace,yang mirip dengan “peradilan adat” (peradilan desa/hakim perdamaian desa).
B. Sumber Hukum Adat
Menurut MM. Djojodigueno ada dua kategori sumber hukum, yaitu:
a. Kekuasaan pemerintah negara atau salah satu sendinya.
Kekuasaan pemerintah sebagai sumber hukum dinyatakan dalam wujud sebagai berikut :
1) Peraturan, yaitu pernyataan kekuasaan legeslatif (kekuasaan mengatur).
2) Putusan Penjabat-penjabat kekuasaan negara lainnya, yaitu kekuasaan eksekutif (kekuasaan pelaksanaan) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili). Yurisprudensi adalah pernyataan kekuasaan yudikatif.
3) Perjanjian Internasional dan pernyataan perang serta segala tindakan untuk melaksanakan perang itu sendiri.
b. Kekuasaan masyarakat sendiri
1) Perbuatan rakyat sendiri dalam menyelenggarakan dan melaksanakan perhubungan pamrihnya, yang mungkin menebal menjadi adat kebiasaan.
2) Putusan rakyat dalam peragaan yang tertentu, misalnya putusan Kamer van Koophandel, vereniging van assuradeuren, rukun kampung,rukun tetangga, perhimpunan kematian (perhimpunan sripah) dsb.
3) Pemberontakan terhadap penguasa yang ada.
Hukum Adat adalah hukum yang bersumber kepada 1b,c serta 2a-c. Selain itu pepatah adat juga dapat digunakan untuk mendapatkan sumber bagi berlakunya asas hukum. Misalnya, harta peninggalan pewaris yang tidak cukup untuk melunasi hutang kepada para kreditur, maka dibayar secara proporsional dengan menggunakan asas yang diambil dari pepatah adat: “Gadang agak berumpuk kecil agak bercacak” Putusan Landraad Pariaman, 13-5-1937).
III. DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT
A. Dasar filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi Filosofi Hukum Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di indonesia sesuai dengan perkembangan jaman yang berfiat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cicta-cita hukum dasar negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila sebagai sumbertertib hukum sangat berarti bagi hukum adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia (Wignjodipoero, l983:14). Dengan demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
B. Dasar sosiologis
Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo, l986:100). Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap.
Dalam sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat dibedakan menjadi hukum tertulis ((hukum yang tertuang dalan perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat,
hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan menjadi hukum yang benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang hidup) ada hukum yang diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the living law. Sebagai contoh Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara diundangkan dalam lembaran negara. Hukum tertulis dibuat ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat.
Hukum tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalamlembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law.)
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah UU nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi hasil.
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living law karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur pengundangan dalam lembaran negara.
Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu : People law, Indegenous law, unwritten law, common law, customary law dan sebagainya.
C. Dasar yuridis
Dasar Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan
Mempelajari segi Yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih, l984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada jaman Kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan jaman Indonesia Merdeka.
A. Jaman Kolonial (Penjajahan Belanda dan Jepang)
Sebelum Konstitusi RIS berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan Dai Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan sebelumnya juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu sebelum penjajahan Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada tahun l925 diundangkan dalan Stb nomor 415 Jo 577 berlaku mulai 1 januari 1926
dimasukkan dalam pasal 131 IS _(Indische Staatsregeleing) lengkapnya wet op de staatsinrichting van Nederlands Indie.
Ketentuan tersebut juga merupakan penyempurnaan dari pasal 75 ayat 3 lama RR l854 _(Regeringsreglemen) lengkapnya Reglement op het beleid der regering van Nederlands Indie_ (Peraturan tentang kebijaksanaan pemerintah di Hindia Belanda ) stb no. 2 tahun 1854 (belanda) dan Stb nomor 2 jo 1 1855 (Hindia Belanda) .Pasal 75 lama RR terdiri dari 6 ayat (Mahadi, 1991:1-2)
yaitu:.
(1). Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian keadilan dalam bidang hukum perdata juga dalam hukum pidana didasarkan pada _verordering-verordering umum, yang sejauh mungkin sama bunyinya dengan undang undang yang berlaku di negeri Belanda.
(2). Gubernur Jendral berhak menyatakan berlaku aturan-aturan yang dipandang pantas, dari _verordering-verordering tersebut bagi golongan orang orang bumi putra. Jika perlu aturan- aturan tersebut boleh dirubah.
(3) Kecuali secara suka rela orang Bumi putra menundukkan diri ke dalam hukum perdata Eropa, maka dalam memutus suatu perkara hakim mempergunakan Hukum Adat.
Pada waktu itu istilah untuk menyebut Hukum Adat dengan berbagai macam yaitu: (1) UU agama, (2)l Lembaga-lembaga golongan bumi putra dan (3) Kebiasaan golongan bumi putra sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang kepatutan dan keadilan (4), (5) dan seterusnya tidak begitu penting bagi hukum adapt (6). Jika hukum adat tidak mengatur tentang suatu perkara yang diajukan ke pengadilan maka hakim memberikan keadilan kepada golongan bumi putra mengambil asas-asas umum dari hukum perdata Eropa.
Menurut Mahadi (l991:2) pengertian Verordering umum dalam pa0sal 75 RR meliputi:- Wet (UU) yang dibuat di negri Belanda oleh DPR belanda bersa-
ma-sama raja Belanda.
- AMVB (Algemene Maatregel van Bestuur)_ peraturan yang dibuat
oleh raja Belanda untuk menjalankan suatu undang undang yang
di Indonesia dikenal dengan Peraturan Pemerintah (PP).
- Ordonansi yaitu peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jendral
bersama-sama Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) juga
dengan Volksraad (DPR). Di Indonesia disebut UU
- RV (regeringsverordering) yang dibuat oleh Gubernur Jendral
untuk menjalankan Ordonansi.
Pasal 75 lama RR merupakan hasil perubahan dan penyempurnaan dari ketentuan pasal 11 AB _(Algemene Bepalingen van Wetgeving). Pasal 75 lama RR berlaku sampai tanggal 1 Januari 1920 dan sejak tanggal itu pasal 75 lama RR mendapat perubahan yaitu menjadi pasal 75 baru RR. Sebenarnya perubahan tersebut di Belan
da sudah terjadi pada tahun 1906 dengan Stb nomor 346. diikuti di Indonesia pada tahun l907 dengan Stb nomor 204, tetapi sebelum berlaku, pada tahun yang sama (l907) pasal 75 baru RR sudah mengalami perubahan lagi dengan Stb 286 di Belanda dan stb no. 621 di Indonesia. Pada tahun l920 RR baru dirubah lagi dan pada tahun l925 RR dimasukkan ke dalam pasal 131 IS yang diberlakukan mulai tahun 1926 dengan Stb nomor 415 jo 577 tahun l925. Pasal 131 ayat 2 sub b IS berisi tentang ketentuan bahwa bagi golongan hukum bumi putra dan timur asing berlaku hukum adat mereka, _tetapi dengan pembatasan _(Sudiyat, l981:24):
1. Jika kepentingan sosial mereka membutuhkan maka pembuat ordonansi (Gubernur jendral dan Voksraad) dapat menentukan bagi mereka:
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah
c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama
2. Jika kepentingan umum memerlukan maka bagi mereka dapat ditentukan yaitu hukum baru yang merupakan sintesa antara Hukum Adat dan Hukum Eropa.
Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi untuk membuat kodifikasi hukum privat bagi Bumi putra dan timur asing dan bukan kepada hakim. Masalahnya: ketika pembuat ordonansi belum sempat membuat kodifikasi yang dimaksudkan maka apa yang menjadi pegangan bagi hakim?. Jawab: berdasarkan pasal 131 ayat 6 (merupakan ketentuan peralihan) yaitu selama hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang berlaku bagi Bumi Putra dan Timur Asing belum diganti dengan kodifikasi maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah Hukum Adat mereka sebelum tahun 1920 yang
ditentukan dalam pasal 75 RR 1854. Menurut Muhammad (1991:45),
Karena kodifikasi belum terlaksana maka kedua kekuasaan istimewa hakim mengenai Hukum Adat tetap dapat dijalankan atas dasar bukan asas konkordansi seperti pada jaman dahulu, tetapi yang menjadi ukuran bagi hakim adalah asas-asas hukum harus yang dipertahankan dalam suatu negara hukum yang merdeka berdaulat berdasarkan UUD 45 dan Pancasila.
Perbedaan antara pasal 131 IS dengan pasal 75 lama RR antara
lain:
1. Hukum Adat dirumuskan secara berbeda dalam kedua pasal 75 lama RR dan 131 IS (Mahadi, l991:17). Dalam pasal 75 lama Hukum Adat dirumuskan sebagai UU agama lembaga-lembaga dan kebia saan-kebiasaan golongan bumi putra. Dalam pasal 131 IS, Hukum Adat dirumuskan sebagai norma hukum yang erat hubungannya dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan. Rumusan Hukum Adat menurut pasal 75 lama RR dipengaruhi oleh pendapat van den Berg yang dikenal dengan teori resepsi (_Recetio in complexu)
2. Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedang 131 ditujukan kepada pembuat UU.
3. Pasal 75 lama RR tidak ada kemungkinan bagi BP untuk menun dukkan diri kepada hukum baru, sedangkan 131 IS ada kemung kinan untuk itu.
4. Pasal 75 lama RR memuat ketentuan tentang pembatasan terhadap berlakunya Hukum Adat yaitu Hukum Adat tidak diberlakukan jika bertentangan dengan asas-asas keadilan. 1 Pembatasan ini tidak ada dalam pasal 131 IS. Pasal 134 ayat 2 IS menentukan bahwa dalam hal timbul perkara antara orang muslim dan hukum adat memeinta penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama kecuali ordonansi menetapkan lain.
Pasal 131 dan 134 IS hanya berlaku bagi hakim Landraad (PN), sedangkan bagi hakim Peradilan Adat _(inheemse rechtspraak) dasar hukumnya adalah pasal 3 stb nomor 80 tahu 1932 bagi daerah yang langsung dikuasai oleh Belanda yang di luar Jawa dan Madura. Sedangkan bagi daerah swapraja dasar hukumnya berlakunya Hukum Adat adalah pasal 13 ayat 3 stb nomor 529 tahun 1938 dalam lange contracten.
Dasar hukum peradilan adat di Jawa dan Madura adalah ketentuan pasal 3 RO stb 23 tahun 1847 jo stb jo. nomor 47 tahun 1848. RO ingkatan dari _Rechterlijke Organisatie (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie
B. Jaman Kemerdekaan Indonesia
a. Ketentuan UUD NRI 1945
i Dalam pasal 18 b ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai den gan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang memperkuat berlakunya hukum adat di Indonesia pada saat ini antara lain :
1. Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ l960
dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan bahwa:
- Asas-pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan berlandasakan hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
- Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.- Dalam penyempurnaan UU hukum perkawinan dan waris supaya memperhatikan fakor-faktor agama, adat dan lain-lain.
2. UU Drt nomor 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil_
Pasal 1 ayat 2 UU drt 1 tahun 1951: secara berangsur-angsurakan ditentukan oleh mentri kehakiman, dihapus:
a. Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
b Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU drt nomor 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.
3. UU nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA . Pasal 2 ayat 4 UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyarakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyarakat hukum adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah tanah tyang ada di wilayahnya.
Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedikikan rupa sehingga sesuai dengan kepentingan ansional dan negara, berdadasakan persatuan bangsa dabn tidak boleh bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.
Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang ( dengan pembatasan) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang
- harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama (Abdurrahman, l978:75).
Di dalam penjelasan umumnya ditjelaskan bahwa Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil makmur adalah:
- Hukum Adat yang telah disempurnakan
- Hukum Adat yang telah disaneer (Budi harsono)
- Hukum Adat yang telah moder (Ko Tjai Sing)
- Hukum Adat yang murni (Sudargo Gautama)
Pasal 22 Terjadinya hak milik berdasarkan ketentuan hukum
adat akan diatur dengan PP.
Pasal 56 UUPA selama UU mengenai hak milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana atau mirip dengan pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan kjetentuan ketentuan UU ini.
4. UU Nomor 41 tahun l999 UUPokok Kehutanan
Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak persseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.
5. PP nomor 21 tahun 1971 tentang HPH dan hak pemungutan hasil Hutan. Pasal 6 ayat 1 PP nomor 21 tahun 1971 menyebutkan bahwa Hak-hak masyarakathukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan
didasarkan atas peraturan hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, pelaksanaannya masih perlu ditertibkan sehingga tidak menggangu HPH.
Ayat 2 Pasal 6 PP no. 21 tahun 1971 Pelaksanaan pasal 1 harus seijin pemegang HPH yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan Hak tsb dan diatur dengan tata tertib sebagai hasil musyaŠwarah antara pemegang HPH musyawarah adat dengan bimbingan dan pengawasan Dinas kehutanan.
Ayat 3 Demi keselamatan umum dalam areal hutan yang sedang dalam rangka penmgusahaan hutan maka pelaksanaan hak-hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan.
6. UU Nomor 4 2004 yang menggantikan UU nomr 14 tahun 1970 tentang ketentuan-keentuan pokok kekuasaan kehakiman
a. Pasal 25 ayat 1 yang isinya segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan ybs atau _sumber hukum tidak tertulis ang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Pasal 28 ayat 1 yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan diundangkannya UU nomor 4 tahun 2004 maka ketentuan pasal 131 ayat 6 Is tidak berlaku lagi.
7. UU no 1 tahun l974 tentang Perkawinan
Pasal 35 dan 37 UUnomor 1 tahun 1974 tentang harta benda dalam perkawinan.
Pasal 35 ayat 1: harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
ayat 2: harta bawaan dari masing-masing suami dan isstri dan harta benda yang diperoleh oleh masing-masing pihak sebagai hadiah, warisaan, adalah berada dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menen tukan lain.
Pasal 36: ayat 1 mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Ayat 2: mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatabn hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37: jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-msing.
pasal 42: anah sah adalah anak yang lahir di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
8. UU nomor 16 tahun 1985 tentang rumah susun daan PP no. 4 1988
tentang rumah susun
UU nomor 16 tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum Adat dengan
cara dimasukkan ke dalam UU tsb yaitu _asas pemisahan horizontal.
9. PP nomor 24 tahun 1997 mengenai pendaftaran tanah
PP 24 merupakan penyempurnan PP10 tahun 1961. PP 24 diundangkan pada 8 juli 1997 dan berlaku efektif 8 oktober 1997
Šmengangkat dan memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu lembaga rechtsverwerking_ (perolehan hak karena menduduki tanah dan menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu iktikad baik selama 20 tahun berturut tanpa ada gangguan/ tuntutan dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat.lembaga aquisitive verjaring kehilangan hak untuk menuntut hak milik
10. UU NO.31 TAHUN 2004 Tentang Perikanan
Pasal 6 ayat (2) UU no.31/ 2004 Pengelolaan Perikanan untuk kepantingan penengkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat da/ atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
11. UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi
Pasal 33 ayat (3) Kegiatan usaha mminyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada huruf b yaitu : tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat.
III.PENGGOLONGAN PENDUDUK
A. Penggolongan penduduk Zaman Penjajahan Belanda
Penggolongan rakyat diartikan sebagai pembedaan rakyat ke dalam berbagai golongan dengan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku bagi setiap golonganpun akan berbeda. Dalam hal ini, rakyat diartikan sebagai semua orang yang mungkin terkena kekuasaan hukum negara Indonesia. Jadi pengertian rakyat tidak hanya meliputi warga negara Indonesia saja tetapi juga termasuk orang asing baik sebagai penduduk maupun bukan (Sudiyat, l981:121).Pada jaman penjajahan Belanda, Hindia Belanda (Indonesia jaman dahulu) bukan merupakan negara maka tidak mempunyai warga negara (warga negara Hindia Belanda) sendiri. Semua orang yang bertempat tinggal di Hindia Belanda pada waktu itu adalah kaula begara Belanda, kecuali orang asing (Supomo, l983:13),
Berdasarkan fakta sejarah, orang-orang yang bertempat tinggal di Hindia Belanda (Indonesia dahulu) dimasukkan ke dalam beberapa golongan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu:
1. Jaman Penjajahan Belanda
a. Pada tahun l848, berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum belanda tahun 1838 diberlakukan juga di Indonesia. Penggolongan rakyat Indonesia pada waktu itu dapat dilihat dalam ketentuan pasal 6, 7, 8 dan 10 AB _(Algemene Bepalingen van Wetgeving(Djojodigoeno, l957/1958:23).
Pasal 6 AB memuat ketentuan bahwa rakyat di Hindia Belanda dibedakan menjadi golongan Orang Eropa, Bumiputra dan yang dipersamakan dengan Bumiputra dan yang dipersamakan dengan golongan Eropa.
Pasal 7 AB memuat ketentuan bahwa yang dipersamakan ke dalam golongan Eropa adalah semua orang yang beragama kristen, termasuk golongan Bumiputra yang beragama kristen.
Pasal 8 AB menegaskan bahwa yang dipersamakan dengan golongan orang Bumiputra adalah orang Arab, Moor, Tionghoa dan lain-lain yang beragama selain kristen atau yang tidak beragama.
Pasal 10 AB Berisi ketentuan bahwa Gubernur Jendral wenang untuk menetapkan aturan-aturan pengecualian bagi orang Indonesia yang beragama Kristen.
Dalam praktek, Gubernur Jendral dengan mengeluarkan peraturan tentang _Bepalingen omtrent de Invoering van en de overgang tot nieuwe wetgeving_ (Stb. no. 10 tahun 1848). Dalam pasal 3 STb tersebut ditegaskan bahwa orang Indonesia yang beragama Kristen dalam lapangan hukum perdata, dagang dan pidana serta peradilan umumnya akan tetap kedudukan hukumnya yang lama. Hal ini berarti bahwa dalam praktek orang Indonesia yang beragama Kristen tetap termasuk golongan Bumiputra.
Kelemahannya:
1). Pembedaan golongan penduduk pada waktu itu menggunakan kriteria
tunggal yaitu agama. Jadi semua orang Hindia Belanda yang beragama Kristen dipersamakan ke dalam golongan orang Eropa, sedangkan semua orang yang beragama selain Kristen atau tidak beragama dipersamakan ke dalam golongan orang Bumiputra.
2.) Siapa yang termasuk golongan Eropa dan Bumiputra tidak dijelaskan, tetapi hanya dijelaskan mengenai siapa yang dipersamakan dengan golongan Eropa dan Bumiputra. Menurut Djojodigoeno (l957:24), dari ketentuan pasal 6 AB penduduk di Hindia Belanda dibedakan menjadi 4 golongan yaitu:
1. Golongan Eropa
2. Golongan Bumiputra
3. Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa
4. Golongan yang dipersamakan dengan golongan Bumiputra.
b. Tahun 1854, ketentuan mengenai penggolongan penduduk berdasarkan
pasal 6-10 AB disempurnakan oleh pasal 109 RR.
Pada dasarnya pasal 109 RR tahun 1854 juga membedakan penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi golongan Eropa, Bumiputra, orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa dan orang yang dipersamakan dengan golongan orang Bumiputra.
Kelebihannya yaitu bahwa agama tidak sebagai satu-satunya kriteria untuk memasukkan orang yang bukan Eropa dan Bumiputra kedalam orang yang dipersamakan golongan Eropa atau Bumiputra. Hal ini karena pasal 109 RR ayat 4 menentukan bahwa orang Indonesia yang beragama kristen tetap termasuk golongan Bumiputra. Sebaliknya orang yang beragama Kristen selain Tionghoa, Arab dan India dipersamakan dengan golongan Eropa. Mereka tersebut antara lain Orang Amerika, Jepang, Australia, Afrika selatan, Jadi kriteria yang dipergunakan adalah _asal negara.
Pasal 109 RR mengandung kelemahan yaitu:
1). Tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan
orang Eropa dan Bumiputra.
2). Kurang terangnya teks terhadap orang Arab-Kristen, Orang
India Kristen, Tionghoa-Kristen sehingga dalam praktek timbul
dua penafsiran.
Penafsiran pertama mereka termasuk golongan yang dipersamakan dengan orang Eropa sedangkan penafsiran kedua mereka termasuk orang yang dipersamakan dengan orang Bumi putra.
Berdasarkan hal itu maka pada tahun pada tanggal 31 Desember1906 pemerintah Hindia Belanda melakukan peninjauan kembali pasal 109 RR dengan Staatsblad nomor 205 tahun 1907.
c. Pada tgl 1 januari 1920 pasal 109 redaksi baru RR disempurnakan melalui Staatsblad nomor 622 tahun 1919.
Sejak 1926 ketentuan pasal 109 baru RR dimasukkan dalam pasal 163 IS bahwa rakyat Indonesia dibedakan menjadi tiga golongan (Supomo, 1983:25) yaitu:
1. Golongan Orang Eropa
2. Golongan Orang Bumi putra dan
3. Golongan Orang Timur Asing.
ad.1. Golongan Orang Eropa
kelemahan pasal 163 IS yaitu tidak menyatakan siapa golongan Eropa itu, tetapi hanya menentukan siapakah yang tunduk kepada ketentuan untuk orang Eropa. Menurut Supomo, (l983: 27) penafsiran untuk memasukkan seseorang ke dalam golongan Eropa dengan 5 kriteria:
1. Kebangsaan yaitu orang Belanda dan Jepang
2. Tempat asal negara yaitu dari Eropa
3. Hukum Keluarga yang berlaku baginya pada assnya sama dengan
hukum Belanda
4. Asas keturunan yaitu anak sah atau yang diakui menurut UU
dan keturunan selanjutnya dari orang-orang tersebut pada nomor
2 dan 3
5. Keadaan pada tahun 1920 yaitu
- mereka yang dahulu dipersamakan dengan golongan orang Eropa
dan anak-anak mereka yang sah atau diakui menurut UU dan
keturunan mereka.
- terhadap perempuan karena perkawinan campuran berdasarkan pasal
2 Stb nomor 158 tahun l898
- Anak dari seorang ibu bangsa Eropa yang tidak mengakuinya,
berdasarkan hukum antar golongan (intergentiel) yang tidak tertu
lis.
2. Golongan Orang Bumiputra
Orang-orang yang termasuk golongan Bumiputra ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli Hindia Belanda dan tidak beralih ke golongan rakyat lain dan mereka yang mula-mula berasal dari golongan rakyat lain lantas mencampurkan diri kedalam rakyat Indonesia asli (Sudiyat, l981:122). Sedangkan menurut Supomo (l983:28), yang termasuk golongan Bumiputra ialah rakyat pribumi dari Hindia Belanda._ Pribumi_ tidak berarti dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, sebab jika demikian maka mereka yang disebut orang Tionghoa Indo dan Eropa-Indo seharusnya termasuk ke dalam golongan Bumiputra. Akan tetapi pengertian Pribumi hanyalah orang Indonesia asli.
ad.c. Orang Timur asing
Orang-orang yang dimasukkan ke dalam golongan Timur Asing irumuskan secara negatif yaitu semua orang yang bukan Eropa dan bukan Bumiputra. Ketentuan ini mempunyai maksud agar tidak ada seorangpun yang tidak termasuk ke dalam salah satu golongan rakyat pada waktu itu.
Kelemahan lainnya dari pasal 163 IS yaitu terjadi inkonsistensi/ diskriminasi sesama bangsa misal orang Iran yang beragama Kristen sebelum tahun 1920 termasuk golongan orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, setelah tahun 1920 tetap sebagai orang Eropa. Sedangkan orang Iran yang tidak beragama Kristen maka atas ketentuan pasal 163 IS termasuk golongan Timur Asing.
Kelebihan pasal 163 IS yaitu sejak tahun 1920 tidak ada lagi istilah yang dipersamakan dengan Bumiputra dan yang dipersamakan dengan Eropa, tetapi hanya ada tiga golongan Eropa, Bumiputra dan Timur Asing. Untuk mengetahui hukum apa yang berlaku pada setiap golongan tersebut di atas dapat dilihat pada pasal 131 IS yaitu:
1. Bagi golongan Eropa berdasarkan asas konkordansi dan pasal 131
ayat 2 sub a. bahwa pada asasnya berlaku hukum perdata yang
berlaku di Belanda dengan pengecualian yaitu ada kemungkinan
untuk menyimpang dalam hal-hal sebagai berikut (Supomo,
1983:104): Keadaan yang istimewa di Hindia Belanda dan agar
dapat diadakan aturan-aturan yang berlaku bagi golongan
Eropa bersama-sama dengan satu atau lebih dari golongan rakyat
lainnya.
2. Bagi golongan Bumoputra dan Timur asing, berdasarkan pasal 131
ayat 2 sub b. memberikan pedoman kepada hakim untuk member
lakukan Hukum Adat mereka dengan penyimpangan kebutuhan sosial
mereka menghendaki demikian dan kepentingan umum maka hakim
dapat memberlakukan hukum Eropa. Akan tetapi bagi Golongan
Timur Asing bukan Tionghoa berdasarkan stb. nomor 79 tahun
1855 dan stb nomor 556 tahun 1924 untuk Timur Asing Tionghoa
ada kemungkinan untuk memberlakukan hukum perdata Eropa kecua
li hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat. i.
Mengapa Pemerintah Kolonial Belanda melakukan penggolongan Rakyat di Hindia Belanda? Hal ini karena berdasarkan sikap orang dan pemerintah belanda yang memandang bahwa kedudukan/ status Orang Eropa lebih tinggi dari orang bukan Eropa. Jadi golongan orang Eropa mempunyai kedudukan hukum yang utama sehingga hukumnya juga berbeda.
Tujuan dilakukan penggolongan rakyat yaitu untuk menentukan hukum yang berlaku bagi setiap golongan. Akan tetapi makna yang ada adalah untuk memecah belah rakyat agar mudah dikuasai. Akibatnya rakyat terkotak-kotak dan menghambat persatuan dan kesatuan bangsa. Manfaat bagi pemerintah Belanda mudah untuk tetap menguasai dan menjajah Indonesia karena rakyat terpecahbelah dan tidak bersatu. Bagi pemerintah Indonesia secara langsung tidak ada manfaatnya kecuali hanya untuk mengetahui bahwa hukum warisan Belanda ( KUHPerdata) masih berlaku bagi golongan Eropa dan Timur asing.
B. Penggolongan Penduduk Setelah Indonesia Merdeka
Pasal 26 ayat 2 UUD 45 Penduduk adalah Indonesia hanya membedakan rakyat Indonesia menjadi dua warga negara dan orang asing Juga berdasarkan pasal 27 ayat 1 UU 45 bahwa setiap wara negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum dan pemerintahan. dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
Tujuannya untuk menghapus perbedaan kedudukan rakyat. Jadi setiap rakyat indonesia mempunyai kedudukan yang sama. Memepercepat proses persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Di lain pihak, berdasarkan pasal I aturan Peralihan UUD 1945 maka pasal 163 IS secara yuridis masih berlaku di Indonesia. Pada tahun 1966 dengan keluarnya Instruksi presidium kabinet Ampera nomor 31/u/in/12/1966 tanggal 27- 12- 1966, sehingga secara formal menghapus pasal 163 IS sehingga di Indonesia hanya ada dua golongan penduduk yaitu Warga Negara dan orang asing .
Bagimakah kenyataan di masyarakat?
sampai sekarang masih terdapat aneka warna hukum perdata seperti hukum waris KHUperdata dari warisan Penjajah Belanda, hukum perdata adat, hukum perdata yang dibuat oleh pemerintah RI sepertu UU perkawinan, UUPA dan sebagainya. Kesimpulannya, secara formal pasal 163 IS dan 131 IS tidak berlaku tetapi secara materiil/ kenyataan masih ada dengan pembatasan hanya hukum yang berasal dari warisan pemerintah kolonial Belanda.
IV. SEJARAH PENEMUAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Hukum Adat sebagai salah satu gejala sosial senantiasa hidup, tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat (Muhammad, l991:57). Dalam perkembangannya sebagai salahsalah satu disiplin ilmu di bidang hukum maka penemuan dan perkembangan Hukum Adat selalu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan dan pendirian seperti, para sarjana, para ahli dan para peminat lain (Muhammad, l991:57).
Mntuk memperoleh suatu pemahaman mengenai Hukum Adat maka dapat diajukan beberapa pertanyaan seperti (Sukanto, 20):
1. sejak kapan diperoleh pengertian mengenai Hukum Adat?
2. Sejak kapan timbul perhatian atas Hukum Adat?
3. sejak kapan orang mulai meakukan penyeledikan di lapangan
mengenai Hukum Adat?
4. sejak kapan Hukum Adat itu ditemukan?
5. Bagaimanakah proses perkembangannya.
Jawaban pertanyaan di atas hanya sejarahlah yang menentu kannya.. proses perkembangan Hukum Adat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti Iklim keadaan lingkungan serta sifat atau watak bangsa, ia juga dipengaruhi oleh kepercayaan magi dan animisme, masuknya agama dan oleh kekuasaan pemerintahan atau karena pergaulan dengan orang luar (Hadikusuma, l978;15).
Mengenai sejarah penemuan dan perkembangan Hukum Adat, van Vollenhoven dalam bukunya _De Ontdekking van het Adatrechts (penemuan Hukum Adat) melakukan analisa dan pembahasan dengan materi pertanyaan yang begitu sederhana yaitu siapakah yang menemukan Hukum Adat itu?. Apakah Hukum Adat ditemukan oleh rakyat yang setiap hari secara langsung telah menghayati dan melaksanakannya atau oleh orang luar?. Setelah melalui berbagai penelitian dan analisa maka pertanyaan tersebut dijawab sendiri oleh van Vollenhoven bahwa yang menemukan Hukum adat adalah bukan rakyat yang setiap hari telah menghayati dan melaksanakannya tetapi justru orang luar karena merasa tertarik terhadap Hukum Adat yang mempunyai ciri-ciri yang unik, khusus atau istimewa (Sudiyat l981:40). Mereka itu adalah para sarjana, para ahli dan para peminat lain yang berasal dari luar lingkungan masyarakat Adat (Sudiyat, l981:40).
Keunikan atau keistimewaan Hukum Adat menurut para ahli atau sarjana tersebut antara lain bahwa hukum Adat yang hidup tumbuh dan berkembang dihayati dan serta dilaksanakan oleh rakyat Indonesia merupakan sekumpulan peraturan yang walupun wujudnya tidak tertulis di dalam peraturan perundang-undangan tetapi berfungsi mengatur tingkah laku, mengatur hidup bermasyarakat dan menentukan serta mengikat karena mempunyai sanksi.
Sejarah penemuan dan perkembangan Hukum Adat yang ditulis oleh van Vollenhoven berisi tentang permulaan perhatian para ahli atau para sarjana barat terhadap Hukum Adat sampai ditemukan dan proses perkembangannya sebagai salah satu disiplin ilmu hukum _(Rechtswetenschap_) sampai pada tahun 1928. Perkembangannya setelah tahun l928 dilukiskan oleh Sukanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia. Buku tersebut merupakan reproduksi dari buku Penemuan Hukum Adat _(De Ontdekking van Het Adatrechts) ditambah perkembangannya sampai pada waktu pecahnya perang dunia Sebenarnya penyelidikan terhadap perkembangan Hukum Adat adalah jauh lebih sukar jika dibanding dengan penyelidikan evolusi perhatian terhadap Hukum Adat (Muhammad, 1991:59). Hal ini karena penyelidikan terhadap perkembangan Hukum Adat tidak hanya terwujud dengan lahirnya ilmu Hukum Adat saja tetapi juga terjelma di dalam bagaimanakah pelaksanaannya dalam sejarah politik Hukum Adat dari jaman VOC, Pemerintah Hindia Belanda sampai kemerdekaan Indonesia.
Sejarah penemuan dan perkembangan Hukum Adat dapat dibedakan dalam beberapa periode atau kurun waktu yaitu pada jaman sebelum datangnya bangsa barat, Jaman VOC, jaman Hindia timur, Jaman pemerintah Hindia Belanda dan jaman setelah Indonesia Merdeka.
A. Jaman Sebelum Datangnya Bangsa Barat
1. Jaman Pra Hindu Sebelum Abad IV_
Pada jaman sebelum datangnya agama Hindu ke Indonesia dikenal dengan jaman Malaio Polinesia (Hadikusuma, l978:15) yaitu suatu jaman ketika nenek moyang bangsa Indonesia tersebar mengarungi lautan antar Madagaskar, Kepulauan Taiwan Kepulauan Hawai dan Pulau Paskah. Pada jaman sebelum masuknya pengaruh asing itu, kehidupan masyarakat Indonesia berjalan mengikuti adat-istiadat yang dipengaruhi oleh alam serba kesaktian. Keadaan Hukum Adat di masa Malayu Polinesia segala sesuatunya bersumber pada pusat kesaktian, magi dan animisme.
2. Jaman Hindu dan Budha_
selama jaman Hindu Indonesia mempunyai kebudayaan yang tinggi, karena terjadinya negara (kerajaan) dan perkonomian berkembang pesat. Agama Hindu hanya berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di Jawa, Sumatra dan bali, sedangkan daerah-daerah Indonesia bagian timur hampir tidak kena pengaruh HIndu. Dengan kata lain bahwa di Indonesia timur tetap dipengaruhi kebudayaan Melayu Polinesia (Hadikusuma, l978:18)
a. Masa Sriwijaya_
Daerah jajahan kerajaan Sriwijaya meliputi Jawa, Sumatra, Kamboja, Malaysia. Keadaan Hukum Adat pada jaman ini tidak banyak ditemukan.
b. Kerajaan Mataram Hindu (Medang Kamulan)
Pada abad x di Jawa terdapat sebuah kerajaan Hindu yang mempunyai wilayah sampai daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Raja Mataram tersebut adalah Balitung.
Di jaman Raja Tulodong terdapat prasasti berangka tahun 919 yang isinya antara lain mengenai hak raja atas tanah. Tanah hutan yang diperlukan oleh raja batas-batasnya ditentukan sendiri oleh raja, tetapi jika menyangkut sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya.
Pada jaman raja Darmawangsa ada kitab Hukum yang disebut Ciwasasana_ atau dalam tulisan Jawa kuna disebut _Purwadigama. Pada jaman Hindu, Hukum adat terdapat dalam undang-undang, buku-buku Hindu.
Pada prasasti Guntur (907M) berisi tentang pemeriksaan perkara oleh Hakim Sampat Panipan pu Gawul dan pu Gallam mengenai gugatan San Darma terhadap karena Pu Tabwel tidak mau membayar hutang. Pu Tabwel tidak mau membayar hutang karena itu bukan hutangnya tetapi hutang istrinya dan istrinya telah wafat. Sidang tidak dihadiri oleh San Darma maka Hakim Pu Gawul memutuskan gugatan San darma ditolak (dikalahkan) dengan dasar penggugat tidak hadir, tergugat tidak dapat dipertanggungjawabkan atas hutang istri yang tidak diketahuinya . Terhadap Pu Tabwal diberikan salinan putusan yang disebut _Jayapatra_ agar tidak terjadi gugatan lagi terhadapnya.
c. Jaman Majapahit
Jaman keemasan kerajaan Majapahit tampak ketika raja Hayam Wuruk naik tahta dan didampingi oleh Maha patih Gadjah Mada.Karya gadjah Mada mengenai Hukum Adat antara lain:i. Sang Prabu memerintah dibantu oleh 4 badan pemerintahan yaitu
Mantri katrini, panca ring wilwatikta, Darma jaksa dan Saptapapati.
ii. Membagi pemuda menjadi dua golongan yaitu Darmaputra: pemuda yang bertugas menjaga pusat pemerintahan dan Mahkota dan _Bhayangkara_: pemuda yang bertugas sebagai penjaga keamaman dan kehormatan negara.iii. Kitab Hukum Gadjah Mada. Kanaka sebagai penerus Gadjah Mada menyusun kitab Hukum Adigama_ dan diBali terdapat kitab hukum lama yaitu Kutaramanawa Semua kitab hukum tersebut memuat hukum raja bukan hukum rakyat.
3. Jaman Islam
Pada jaman kerajaan Islam berkembang di Indonesia, Seperti Kerajaan Samudara pasai di Sumatra, Mataram di Jawa, Demak di Jawa tangah, tidak banyak sumber mengenai Hukum Adat. Akantetapi hal itu merupakan latar belakang untuk dapat mengetahui lebih jauh mengenai sejarah penemuan dan perkembangan Hukum Adat (Hadikusuma, 1978:54).
B. Jaman Setelah Ada Pengaruh Dari Bangsa Barat
Jaman VOC_
Pada masa ini tak seorangpun ada yang mau mengadalkan penelitian Hukum Adat sejati. Para penguasa pada VOC hanya iseng-iseng menulis dalam buku hariannya tentang kesusilaan, agama, bahasa dan kebiasaan golongan orang Bumiputra.Pada masa selanjutnya muncullah para pemerhati Hukum Adat
seperti:
i. Van Twist banyak menulis tentang penduduk asli orang benua.
ii. Gerrit Demmer mempelajarai pemerintahan dan organisasi
kemasyarakatan penduduk Ambon.
iii. Speelman membuat uraian tentang Mataram dan Sulawesi Sela
tan.
iv. Robert Padtbrugge menulis tentang perjalannnya ke Sulawesi
Utara, Sangihe dan juga menulis adat istiadat Minahasa.
v. Van Goens menulis laporan tentang Kompeni, pembagian pulau
Jawa dan Penduduknya serta perjalannannya ke Mataram
(Javaanse reis)_.
vi. Orang Belanda yang turut memberikan perhatian terhadap peng
kodifikasian Hukum Adat adalah Cornelis Joan Simons. Dalam
Usul tersebut Simon menonjolkan betapa pentingnya kodifikasi
dengan memperhatikan hukum pribumi dan tidak mengesampingkan
Hukm Agama. Kelemahannya usulan Simons mengenai Kodifikasi
tersebut mengartikan Indonesia dalam arti yang luas termasuk
Sailan. Jadi Kurang menyentuh Hukum Adat yang dimaksud yaitu
Hukum Adat dari Sabang sampai Meraoke.
vii. Valentijn menulis _Oud en Nieuw Oost Indien yang memuat
tentang kelaziman hukum dan kehidupan rakyat. Karya-karya mereka ini sudah menunjukkan perhatiannya terhadap penemuan dan perkembangan Hukum Adat hanya saja baru merupakan ancang-ancang (persiapan) untuk meloncat. VOC _(Verenigde Ost Indische Compagnie_) sebagai organisasi dagang mempunyai kewenangan seperti layaknya sebuah negara karena diberi Hak Oktroi oleh Dewan rakyat Belanda (Hadikusuma, l978:57). VOC diberi hak untuk membuat uang, tentara mendirikan benteng dan hukum sendiri serta dapat mengadakan perjanjian dengan para raja. Sebenarnya VOC sebagai organisasi dagang tidak ada kaitannya untuk turut mencampuri Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, tetapi berdasarkan alasan praktis maka di beberapa tempat VOC melakukan campur tangan terhadap Hukum Adat. Wujud campur tangan VOC terhadap Hukum Adat tersebut menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang Indonesia Asli yaitu (Sudiyat, l981:44)
1. Pada tahun l750 dengan dibuatnya compendium berupa Kitab
Hukum Mogharrar untuk keperluan Landraad di semarang. Kitab hukum tersebut bermaksud memuat kitab hukum Pidana Jawa, tetapi berupa Hukum Pidana Islam
2. Pada tahun 1759 dikeluarkan Compendium Clootwijk tentang UU
Bumiputra di lingkungan Kraton Bone dan Goa3. Tahun 1760 keluar Compendium Frijer yang berisi tentang Himpunan Peraturan tentang Nikah, Talak dan Warisan.4. Pada tahun 1757-1765 keluar pepakem Cirebon oleh Residen
Cierebon Hasselaer merupakan kitab Hukum Adat. Kelemahannya tidak didasarkan pada hasil penenlitian dan diambil dari bahan tertulis karena isinya merupakan kumpulan dari Hukum Adat Jawa yang sumbernya dari kitab-kitab kuno seperti Undang-undang Mataram, Jayalengkara, Kutara Manawa dan Adilulloh.
Karya Kitab Hukum Adat lainnya adalah Ridzali (l650) yang membuat lukisan tentang masyarakat Hitu di Ambon. tahun 1676 Amanna Gappa (orang bugis) yang mencatat peraturan pelayaran dan pengangkutan laut bagi orang Wajo.
C. Jaman Pemerintah Hindia Timur dan Inggris (setelah VOC:1780-
1865)_
Penemuan Hukum adat terjadi secara berangsur-angsur pada abad 19 dan permulaan abad 20 yaitu sejak dilakukannya penyelidikan dan studi Hukum Adat yang makin banyak, sistematis dan teliti (Sudiyat 1981:45). Dalam kuraun waktu tersebut oleh van Vollenhoven disebut sebagai _westerse verkenning_ (penyelidikan lapangan oleh Orang barat) yaitu masa perintis penyelidikan dan studi Hukum Adat yang berasal dari dunia Barat. Para perintis yang melakukan penyeledikan terhadap Hukum Adat tersebut
adalah:
1. Marsden_
Marsden adalah orang Inggris yang menjadi pegawai pangreh praja Hindia Belanda. Karya Marsden yang dipublikasikan pada tahun 1783 adalah _The History of Sumatra_ yang sebenarnya tidak memuat sejarah tetapi suatu deskripsi/ laporan sistematis tentang Sumatera yang meliputi pemerintahan, hukum dan adat-istiadat penduduk Bumi putra pada akhir abad 18. Menurut Sukanto (l981:25), Hukum Adat hanya merupakan bagian kecil saja dari buku _The History of Sumatra_, Marsden menaruh minat terhadap HukumAdatdan mencoba mengatur, menyusun misal susunan masyarakat, hukum perkawinan, hukum waris dan hukum pidana.
Menurut van Vollenhoven dalam Muhammad (l991:66), Marsden disebut sebagai pionir atau perintis pertama dalam penemuan Hukum Adat sebab Marsdenlah timbul untuk pertama kali kesadaran tentang kesatuan dan hubungna tali-temali dari daerah dan golongan suku-suku bangsa yang keseluruhannya digolongkan kedalam kompleks yang lebih luas yaitu Melayu Polinesia ( daerah Indonesia dan orang-orang Indonesia.
2. Muntighe_
Herman Warner Muntinghe adalah orang belanda yang menjadi sekretaris Guberneman, sekretaris Gubernur jendral Daendels, ketua HGH (Hooggerechtshof), pembantu Raffles, anggota raad van Indie. Jasa Muntinghe adalah menemukan desa jawa sebagai persekutuan hukum _(Rechtsgemenscap_) yang asli dengan organisasi sendiri dn hak-hak sendiri atas tanah. Muntinghe adalah orang Barat pertama yang menggunakan istilah Adat secara sistematis, tetapi belum mengnenal Adatrechts.
Raffles
Raffles adalah letnan-Gubernur Inggris di Pulau jawa tahun 1811-1816 dan pada tahun 1819 mempelajari bahasa melayu dan adat-istiadat rakyat Indonesia. Raffles menulis _The History of Java, pengertian History bukan sejarah tetapi _account of the island of Java_ (suatu uraian tentang pulau Jawa) yang menjelaskan pemimpin-pemimpin, kitab hukum, hukum keluarga dan waris Jawa (Van Vollenhoven, l981:25).
Sebenarnya Raffles adalah penyelidik adat-istiadat yang pertama dan sungguh-sungguh. Penyeledikan Hukum Adat yang dilakukan oleh Raffles tidak dipublikasikan ke dalam _The history of Java_ tetapi dalam skema pajak tanah yang bahan-bahannya diperoleh dari infformasi setempat dan pengalamannya sendiritentang kebiasaan dan adat dari negeri dan sifat lembaga-lembaga orang Jawa (Muhammad, l991:67).
Pandangan Raflles terhadap Hukum adat:
a. Mencampuradukkan antara Hukum Agama dengan Hukum Bumi Putra.
b. Alquran dipandang sebagai sumber Hukum di jawa, sedangkan
desa bersifat Hindu .
c. Melebihkan hukum tertulis yaitu ketika menyelidiki tentang
agraria di Jawa.
d. Bahan-bahan yang diperoleh mengenai Hukum adat yang hidup di
Jawa didapat dari daerah-daerah kerajaan (Yogyakarta dan
solo). Jadi Raffles tidak mencatat Hukum rakyat yang hidup,
tetapi seperti Marsden, Raffles melihat Indonesia sebagai
keseluruhan yang bulat dan tidak terpisah-pisahkan.
4. Crawfurd_
Beliau adalah seorang dokter yang bekerja pada pemerintah Inggris, tetapi diserahi tugas politik yaitu pada tahun 1814 menjadi resident di kraton Yogyakarta. Pada tahun 1816 melakukan tuhgas politik di Bali dan Sulawesi
Karya Crawfurd History of the indian Archipelago yang terbit tahun 1820 yang berisi laporan sistematis mengenai agama, adat, abahasa lembaga-lembaga Bumiputra (Muhammad, l991:68). Pandangan Crawfurd terhadap Hukum Adat adalah bahwa Hukum Adat merupakan suatu campuran dari adat-istiadat asli, hukum Arab dan Hindu. Jadi Hukum Agama merupakan bagian kecil saja dari Hukum Adat. Crawfurd menulis Hukum Tanah, Desa dan hukum waris (Sukanto, l981:29).
5. Van Hogendorp_
Hogendorp adalah orang Belanda yang juga mempelajari dan menyelidiki bagian Hukum rakyat Jawa yaitu hak milik atas tanah bagi Bumiputra. Menurut Hogendorp: orang Jawa hidup dalam sistem pinjam tanah, raja sebagai pemilik tanah kemudian meminjamkan tanahnya kepada pemegang-pemegang apanage- bukan kepada desa. pPara pemegang apanage kemudian meminjamkan lagi kepada para warga desa dengan ketantuan bahwa rakyat wajib menyerahkan sebagian hasilnya kepada Raja melalui para apanage (Muhammad, l991:69). Dalil inilah yang kemudian diambil oleh pemerintah
Hindia Belanda dengan mengeluarkan Domein Verklaring stb. ll8
tahun 1870.
Jasa van Hogendorp mendesak agar diadakan perubahan sistem hkum tanah yaitu bahwa rakyat bukan lagi sebagai peminjam atas tanah dari para apanage tetapi sebagai pemilik yang dapat ditarik pajak yang normal.
6. Daendels
Daendels adalah orang Belanda yang telah mengenal desa sebagai persekutuan Hukum yang bulat. Ia mengubah pajak bumi raja Banten sehingga berusaha untuk menggunakan lembaga pribumi dan dasar-dasar pribumi. Ia juga mengetahui lembaga panjer dalam Hukum Adat. Akan tetapi ia membuat kesalahfahaman dalam menyelidiki Hukum adat yaitu bahwa hukum pidana Jawa adalah Hukum Islam menurut ketentuan alQuran. Kepala desa dianggap sebagai kepala distrik. pada tahun 1808 ia menganjurkan agar di seluruh desa pantai utara jawa diadakan pelajaran anak-anak menurut adat kebiasaan dan undang-undang.
7. Jean Chistien Baud
Pada tahun 1829 ia diberi kesempatan untuk melindungi hak layat desa (hak desa untuk megatur/ menguasai tanah atas tanah tandus). Ia tidak dapat menerima ajaran Domein (Domeinleer) yang mengatakan tanah adalah milik raja. Ia menyesalkan penyalahgunaan hak rakyat yang berupa kerja rodi. Ia juga menganjurkan agar ada hak milik pribadi atas tanah pertanian oleh rakyat.Para perintis penemu Hukum Adat tersebut di atas adalah para pegawai pemerintah yang bekerja sebagai pucuk pimpinan tetapi belum ada yang meneliti persoalan-persoalan Hukum Adat secara sistematis. Alasan mereka adalah bahwa orang Indonesia sendiri tidak berdaya untuk membentu pekerjaan para penguasan Hindia Belanda untuk melakukan penelitian.
Sebenarnya menurut Muhammad (l991:72), mereka yang langsung dihadapkan dengan Hukum Adat adalah orang-orang yang bekerja di bawah tangga pucuk pimpinan yang melaksanakan keputusan pimpinan. Meraka ini adalah para pekerja lapangan _(Fieldworker/ werkers te velde) _antara lain (Sudiyat, l983:47):
1. Rothen Buhler yang menemukan hukum pemilikan tanah oleh desa
dan pembagian kembali tanah-tanah desa setiap tahun merupa
kan adat kebiasaan yang normal.
2. Du Bois menulis kehidupan masyarakat Hukum Adat di Lampung.
3. Reiynst menulis laporan tentang marga di palembang dan
Hukum Tanah Adat.
4. Dommis meneliti sistem kekerabatan di Minangkabau.
5. Winter menulis _instellingen, gewoonten en gebruiken (adat,
kebiasaan dan kelaziman)
6. Van Schmid menulis tenang adat-istidat di pulau Seram.
7. Willer menulis kumpulan undang-undang Batak dan lembaga-
lembaga di Mandailing
8. Van den Boshe membukukan uu Simbur Cahaya yang berisi adat-
istiadat Palembang.
9. van Ophuisen menulis Hukum Adat Sumatera.
Proses penemuan dan perkembangan Hukum Adat didukung oleh
berbagai lembaga seperti media massa yang berupa _Majalah Het regt
in Nederlands Indie_, yang pada tahun 1914 diganti menjadi Indisch
Tijdschrift van het Rechts_. Majalah lain yang memuat Hukum adat
adalah The Oosterling dalam Majalah Tijdschrift voor Nederlands
Indie.
Lembaga kerajaan (Koninklijk Instituut voor Taal en Landvolkenkunde van Nederlands Indie_ yang didirikan pada tahun 1851 oleh Baud juga berperan dalam proses penemuan dan perkembangan Hukum Adat. Orang yang paling berpengaruh dalam KITLV ini adalah Salmon Keyzer sebqagai penemu Hukum adat sepenuhnya dan terkenal dengan teori _Receptio in Complexu_.
D. Jaman Pemerintah Hindia Belanda sampai Indonesia Merdeka (1865 sampai 1945)Perkembangan minat untuk menemukan Hukum Adat terdiri dari
4 kalangan yaitu:
1. Parlemen Belanda; berminat di bidang hukumAgraria (Hukum Tanah)
2. Pangreh Praja berminat terhadap organisasi rakyat
Tiga orang Pangreh Praja yang karya-karyanya luar biasa
mengenai penemuan dan perkembangan Hukum Adat adalah Liefrinck,
Wilken dan Snouck Hurgronje yang dikenal dengan istilah Trio
Penemu Hukum Adat.
ad.1. Wilken menggunakan metode perbandingan etnologi dalam
menyelidiki Hukum Adat dan memberikan tempat tersendiri
terhadap Hukum Adat, namun ia belum dapat dikatakan seba
gai pendasar Hukum Adat. Van vollenhovenlah sebagai pem
bentuk sistem pelajaran Hukum Adat. Karya Wilken yang
tersebar lalu dikumpulkan menjadi satu yang berjudul
_Opstellen over Adatrechts_ (karangan-karangan Hukum Adat)
ad.2. Liefrinck Berbeda dengan Wilken, maka Liefrinck membatasi
penyelidikannya hanya pada satu lingkungan Hukum Adat saja
yaitu Bali dan Lombok.
ad.3. Snouck Hurgronje adalah sarjana sastra yang menjadi politi
kus, pernah ke arab dengan memakai nama Abdul Gaffar dan
disana bergaul akrab dengan orang Indonesia sehingga
banyak mengetahu lembaga-lembaga Hukum Adat. Pernah tinggal
di Indonesia dan menulis buku De atjeheers dan Het Gajo
land.
Metode yang digunakan dalam menelidiki Hukum Adat yaitu seperti Liefrinck dengan mengkonsentrasikan diri pada satu lingkungan Hukum Adat yaitu di tanah Gayo. Pemakai pertama istilah Adatrechts.
3. Lemmbaga penyiaran agama Kristen berminat terhadap hukum
keluarga/ kekerabatan dan hukum Waris.
4. Para Yuris menaruh minat di bidang hukum harta kekayaan dan
hukum delik. Mereka ini antara lain :
a. Gelder yang menaruh minat terhadap pengertian-pengertian Hukum
Adat dan Hukum Tanah
b. Nederburgh yang menaruh minat terhadap masalah-masalah Hukum
Adat. Karyanya yaitu _Wet en Adat_.
c. Carpentier Alting melakukan penelitian terhadap Hukum adat
dengan meminta keterangan dari para tetua adat dan fokus
penelitiannya di Minahasa.
Ciri khas para Yuris tersebut di atas dalam melakukan penyelidikan Hukum Adat yaitu bahwa kupasan/ bahasan mereka terhadap Hukum Adat belum menyentuh isi Hukum Adat tetapi baru memberikan uraian mengenai hal-hal di sekitarnya. dengan kata lain bahwa para yuris tersebut baru mencatat yang ia lihat, dengar, dan yang terjadi misala tentang moral, tingkah laku tanda tanda larangan dsb. Jadi belum menganalisa secara ilmiah tetapi baru sekedar melakukan pencatatan saja.
Penemuan lebih mendalam mengenai Hukum Adat terjadi setelah tahu 1900 dengan ciri khas bahwa penelitian terhadap Hukum Adat tidak sekedar melakukan pencatatan dan penghimpunan fakta-fakta/ kejadian saja tetapi sudah mulai memahami sifat khas ketimuran. Arti penting penelitian Hukum Adat setelah tahun l900 adalah mendorong dan membimbing pelajaran Hukum Adat ke arah yang baru.Ada beberapa faktor yang membelokkan penelitian Hukum Adat ke arah yang barusehingga mendorong lahirnya ilmu Hukum Adat
yaitu:
a. Karya etnologi baru yang dipropagandakan oleh van Ossenbruggen
yaitu bahwa untuk mempelajari dan memahami lembaga-lembaga ma
syarakat timur orang dan primitif harus mencari titik pangkal
di dalam jiwa masyarakat timur/ semangat ketimuran dan primitif.
b. Usul RUU dari pemerintah HB untuk membinasakan Hukum Adat
yaitu - pasal 75 dan 109 RR (l904).
- pasal 62 RR tahun 1918
c. keputusan dan tindakan pemerintah HB untuk mengatur tentang
materi yang masih dianggap berat yaitu urusan desa, urusan
wilayah dn Hukum Tanah.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi adalah di bidang
kerohanian yaitu sejak 1900 terjadi perubahan pola pikir dari
rasionalistis materialistis ke arah pola berpikir yang bukan
Eropa sentris dan tidak materialistis.
Minat universitas secara resmi pada tahun 1921 mewajibkan
bahwa Hukum Adat harus diujikan di perguruan Tinggi. Pada tahun
1924 mata pelajaran Hukum adat merupakan mata pelajaran Wajib di
Perguruan Tinggi Hukum Di Jakarta.
1. Van Vollenhoven
Van Vollenhoven merupakan salah satu orang Belanda yang gigih
menentang usaha pemerintah untuk menghilangkan Hukum Adat
melalui pendesakan dari pihak penguasa dan hakim.
Jasa Van Vollenhoven yaitu:
i. Melakukan penelitian Hukum Adat di Indonesia dan memper
juangkan bahwa Hukum adat tidak kalah derajadnya jika diban
dingkan dengan hukum lain.
ii. Merupakan peletak dasar ilmu hukum Adat artinya mengangkat
Hukum adat sebagai salah satu bidang disiplin ilmu hukum
sejajar dengan bidangn hukum lainnya. Beliau juga sebagai
pengembang serta pembina sistem mata kuliah Hukum adat.
iii. Menghilangkan kesalahpahaman antara Hukum Adat dengan Hukum
Islam
iv. Membela Hukum Adat karena pemerintah Belanda mau mengganti
Hukum Adat ke dalam UU Belanda.
v. Melakukan pembagian wilayah Indonesia menjadi 19 lingkungan
wilayah Hukum Adat
Pembagian wilayah Indonesia menjadi 19 itu bersifat semen
tara dan bukan merupakan perbedaan yang asasi karena di kemudian
hari dapat bertambah atau berkurang sesuai dengan pengaruh
perkembangan jaman, keinsyafan nasional dan keinginan unifikasi
Hukum di Indonesia.
Dasar pembagian wilayah Indonesia enjadi 19 adalah persa
maan dan perbedaan tiap wilayah lingkungan Hukum.
_2. Peranan Ter Haar _
1. Di dalam Politik hukum Adat, Ter Haar berusaha semaksimal
mungkin agar Hak ulayat mendapatkan pengakuan secara formal di
dalam UU, melalui berbagai perjuangan di Voklsraad, komisi Agrar
ia, nasehat kepada komisi karangan-karanagnya
2. Di lapangan Teori Hukum Adat
i. Ter Haar melakukan penyelidikan lembaga Hukum dan faktor-
faktor sosial yang mempengaruhinya Hukum Adat.
ii. Ter Haar memperkenalkan teori yang berbeda denga teori
sebelumnya yaitu teori keputusan _(Beslissingen leer)
Akibat Teori adalah terhadap pembagian wilayah Indonesia
menjadi 19 lingkungan hukum Adat
i. Pembagian wilayah tersebut menjadi semakin tajam sehingga
sukar untuk dapat tercipta suatu asimilasi hukum dari
lingkungan hukum yang satu dengan lainnya.
ii.Mempertajam rasa kedaerahan dan menghambat persatuan dan
kesatuan
iii. Hukum Adat dibatasi dan menjadi sempit yaitu hanya hal-hal
yang diputuskan oleh para fungsionaris hukum saja.
Sebenarnya yang kita perlukan pada masa sekarang ini adalah:
i. Meneliti keadaan sesungguhnya di daerah lingkungan Hukum
Adat tersebut.
ii. Mencari asas hukum yang masih terpelihara sebagai bahan
pembentukan Hukum nasional.
iii.Mencari persamaan-persamaan asas-asas hukum di seluruh
Indonesia, bukannya perbedaan-perbedaannya.
iv. Mengikuti perkembangan masyarakat dan perkembangan kebu
tuhan Hukum masyarakat
v. Memahami politik hukum pemerintah RI seperti yang tertuang
dalam GBHN.
B. Perkembangan Hukum Adat setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, kesadaran Timur dilengkapi dengan unsur nasional, bahkan diperluas dan diperdalam. Kesadaran nasional untuk mempelajari Hukum Adat meliputi tiga unsur pokok yaitu dialami oleh orang Indonesia sendiri, dinyatakan dalam bahasa nasional dan memakai metode pelajaran nasional.
A Konsepsi dan Peran Supomo_
Supomo adalah orang Indonesia dan menjadi murid Ter Haar Supomo menganjurkan adanya reorientasi dalam politik Hukum setelah Indonesia Merdeka yaitu bahwa sudah semestinya negara Indonesia yang merdeka menjadi masyarakat dan negara modern sehingga hukumnyapun juga harus modern. hukum Modern itu bukan hukum Belanda tetapi hukum yang berisi asas-assas modern universal. Kodifikasi diupayakan bersifat unifikasi terutama di bidang hukum harta kekayaan. Sebaliknya, unifikasi masih sulit dilaksanakan di lapangan hidup kekeluargaan karena berhungan erat dan dipengruhi oleh kepercayaan batin masyarakat (Sudiyat, l981:95).
Dasar sistematiak tersebut karena terdapat perbedaan ciri dan
sifat Hukum Adat dengan Hukum Barat,
Konsepsi Supomo mengenai hukum Adat adalah yang paling luas
karena meliputi nonstatutory law, judge made law, customary law
dan convention.
B. Peranan dan Konsepsi Djojodigoeno
Menurut Djojodigoeno sistem hukum di dunia ini secara ekstrim dapat dibedakan menjadi dua yang menghendaki kodifikasi dan yang tidak menghendaki kodigfikasi (Anglosaxon) Intisari Hukum Adat berpangkal pada ugeran yang bersumber pada kekuasaan negara dan masyarakat dan timbul langsung dari kebudayaan Indonesia Ugeran adalah hukum yang membebani kewajiban dan pantangan (perintah dan laranga) yang bermaksud membatasi sikap tingkah laku orang dalam masyarakat sehingga timbul suatu tata dalam masyarakat. Ugeran dijumpai dalam perundang-undangan, yurisprudensi, adat kebiasaan.
Dalam sejarah penemuan dan perkembangannya Hukum Adat, para pembuat undang-undang yang mencantumkan Hukum Adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan selalu membatasi Hukum Adat. Masalah ini menurut Koenoe di dlam Sudiyat (l981:107) mencerminkan bahwa para pembuat UU berpandangan negatif terhadap Hukum Adat dan memandang bahwa kedudukan Hukum Adat tidak sejajar dengan Hukum tertulis.
Sejak tahun l966 dengan Tap MPRS nomor XX dan dikuatkan lagi dengan Tap MPR nomor Iv tahun l973 mengenai GBHN ditegaskan bahwa hukum nasional harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi.
Konsepsi Hukum Adat dalam Tap MPR nomor IV tahun 1973 direalisir dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperi UU No. 1 tahu l974, UU nomor 5 tahun l979, UU nomor 16 tahun 1985
Dengan dimasukkannya konsepsi lembaga-lembaga Hukum adat kedalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut apakan Hukum adat menjadi Hukum yang mati?
Pendapat aliran normatif sosiologis yang berpandangan luas bahwa Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis walupun berbagai lembaganya telah diambil oleh pembuat undang-undang dan dimasukkan dalam berbagai UU maka sebagai hukum yang hidup (the living Law)_ masih tetap eksis atau hidup. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa tidak semua UU menjadi hukum yang hidup, tetapi banyak kasus UU tidak dilaksanakan oleh masyarakat dan masyarakat lebih senang menggunakan lembaga yang ada di dalam Hukum Adat. Selain itu, dalam sustu sistem Hukum maka tidak mungkin (mustahil) semua hal atau persoalan hidup manusia akan dapat diatur dalam perundang-undangan. Dalam kenyataannya UU itu tidak sempurna dan tidak mungkin sempurna karena sejak proses pengusulan dan pembahasannya sarat dengan berbagai kepentingan. Dalam hal inilah Hukum Adat berperan sebagai pengisi dan pelengkap sistem Hukum nasional kita.
D. SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
1. Pada Zaman Penjajahan Belanda
Pada masa VOC tidak ada politik hukum yang sadar terhadap Hukum Adat. Hukum Adat dibiarkan seperti apa adanya. Pada tahun 1830ada angan-angan pemerintah Belanda untuk memberlakukan asas persamaan hukum, kemudian dibentuk Panitia Scholten namun gagal.
Tahun 1848 Hukum Adat diperdebatkan lebih hebat berhubung diberlakukannya KUH Perdata, dagang dan Acara Pidana bagi penduduk Belanda yang ada di Indonesia. Hukum Adat akan diganti dengan Hukum Eropa. Berbagai usaha yang menentukan nasib Hukum Adat dalam perundang-undangan yaitu:
Usaha Wichers mau menggantikan Hukum Adat dengan hukum kodifikasi. Van Der Putte mengenai penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa untuk kepentingan pengusaha Belanda. Cremer mengenai kodifikasi lokal bagian dari Hukum Adat. Kabinet Kuyper usul menggantikan Hukum Adat dengan Hukum Eropa. Amandemen van Idsinga hanya mengizinkan penggantian Hukum Adat dengan Hukum Barat jika kebutuhan sosial rakyat menghendaki. Tahun 1927 terjadi perubahan politik hukum yang dikenal dengan politik titik balik dari unifikasi ke kodifikasi.
1. Pada Zaman Kemerdekaan Indonesia
Pada kurun waktu 1945-1950 Hukum Adat belum dipermasalahkan.
Tahun 1950 mulai ada tanda perubahan yang dirintis oleh Djojodigueno dengan karya menyandra Hukum Adat.
Tahun 1960 Hukum Adat memperoleh kedudukan yang kuat yaitu dengan keluarnya Tap. MPRS No. II Tahun 1960. Dalam lampiran A dikatakan bahwa Hukum Adat sebagai landasan tata hukum nasional.
Hukum Adat sebagai hukum yang hidup, hukum tidak tertulis berfungsi sebagai pelengkap dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yaitu dengan: menggunakan konsep dan asas dari Hukum Adat yang dirumuskan dalam norma dan lembaga hukum baru. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan tidak kehilangan sifat kepribadian Indonesia.
V. MASYARAKAT DAN DESA
A. Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat dalam pengertian sehari-hari diartikan sebagai “pergaulan hidup” dan yang lebih tepat lagi masyarakat itu diartikan sebagai kelompok manusia yang hidup bersama dan kehidupan bersama itu merupakan pergaulan hidup. Dalam pergaulan hidupnya itu terdapat pola-pola perilaku yang dimengeri maknanya oleh setiap warga kelompok. Mereka merasa sebagai satu kesatuan.
Masyarakat Hukum, diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama dalam tata hukum yang sama (Rechtsgemeenschap) sehingga mereka juga merupakan satu kesatuan. Ciri lainnya adalah bahwa masyarakat hukum mempunyai wewenang hukum (otoritas hukum, Rechtsgezag) dan upaya pemaksa hukum ((Rechtsdwang). Di samping itu juga mempunyai kekayaan dan dapat mengadakan hubungan-hubungan hukum dalam lalu lintas hukum seperti subyek hukum lainnya.
Masyarakat Hukum Adat, dapat diketahui dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar baik lahir maupun batin.
b. Mempunyai tata susunan tetap dan kekal, dalam arti tidak seorangpun di antara mereka mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompok tersebut.
c. Para warganya menghayati kehidupannya dalam kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar yang dikehendaki oleh kodrat alam.
d. Mempunyai harta benda cita yang harus dibina dan dipertahankan bersama.
e. Mempunyai kewibawaan dan daya paksa dalam kreasi pelaksanaan dan pembinaan hukum. Dengan demikian fungsi masyarakat Hukum Adat adalah merupakan suatu bingkai yang turut menentukan kepribadian Hukum Adat setempat yang dipagarinya atau selaku peta denah dari halaman kerjanya.
B. Organisasi Desa
a. Pengertian desa
Organisasi desa menurut Hukum Adat ialah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu badan urusan pusat yang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya. Ia merupakan kesatuan tertunggal wilayah terbesar dalam suasana rakyat, artinya bahwa organisasi itu merupakan proyeksi dari kecakapan atau kemauan dari anggota masyarakat itu sendiri.
Dalam Hukum Adat, desa mempunyai nama setempat yang berbeda-beda seperti: desa, negari, kuria, marga dll.
Dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerinatahn daerah, Pasal 1 angka 12 dikatakan desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan aal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
b. Fungsi desa
Desa berfungsi dan bermakna serta berkonsekuensi dalam Hukum Adat:
1) Merupakan subyek hak ulayat
2) Masyarakat hukum yang paling utama. Masyarakat hukum dalam arti, badan hukum yang berwibawa dalam perkembangan dan pemeliharaan hukum adat.
c. Pola Susunan Pemerintahan Desa:
1) Persekutuan setempat atau desa bersentralisasi, yaitu suatu kebulatan kemasyarakatan yang didasarkan ketunggalan wilayah yang di pusatnya terdapat perurusan kekuasaan yang mengurus segala hal di wilayahnya.
2) Persekutuan daerah atau desa berdesentralisasi, dibaginya satu wilayah desa menjadi beberapa bagian atau daerah dan setiap daerah mempunyai badan pemerintahan kecil yang berkuasa di daerahnya sendiri, namun untuk sebagian menjalankan/menerima kekuasaan dari pemerintah pusatnya.
3) Federasi desa atau perserikatan desa (dorpenbond) yaitu bergabungnya beberapa desa yang saing berdekatan/berbatasan untuk suatu kepentingan dan kemanfaatn bersama. Dalam hal ini pemerintah pusat masing-masing desa yang bergabung memberi amanat/kuasa kepada badan perurusan (yang dibentuk tersendiri oleh desa-desa yang bergabung) untuk mengurus apa yang menjadi kepentingannya.
VI. KETUNGGALAN SILSILAH DAN PAGUYUBAN HIDUP
A. Ketunggalan Silsilah dan Kewangsaan
Dalam realita orang Indonesia, ada suku bangsa yang perhubungan darahnya didasarkan atas ketunggalan silsilah dan ada yang didasarkan perhubungan darahnya pada kewangsaan, Baik ketunggalan silsilah maupun kewangsaan, keduanya mempunyai dasar yang sama yaitu masing-masing mendasarkan kepada adanya ketunggalan leluhur/ketunggalan darah.
1. Ciri Ketunggalan silsilah
1) Dilacak melalui satu orang leluhur yang mulia
2) Dilacak sekian jauhnya, sehingga tidak jelas siaa yang menghubungkan antara anggotanya itu.
3) Dilacak secara unilateral, hanya melalui orang-orang laki-laki saja
atau perempuan saja.
4) Biasanya dilacak hingga 7 atau 8 generasi.
2. Kewangsaan mempunyai ciri khas sebagai berikut ;
1) Dilacak melalui seorang leluhur siapapun juga baik mulya maupun tidak.
2) Dilacak hanya sampai 3 atau 4 generasi saja sehingga hubungan satu dengan lainnya masih dapat diketahui dengan jelas.
1) Dilacak secara parental atau bilateral artinya melalui ibu dan bapak.
B. Paguyuban Hidup
Suatu paguyuban adalah suatu himpunan manusia dimana yang menonjol adalah berbagai hubungan guyub.
Hubungan guyub adalah suatu hubungan dimana orang yang satu menghadapi orang lain tidak hanya sebagai lantaran, melainkan sebagai tujuan. Perekat hubungan ini adalah berbagai perasaan cinta, rindu, simpati dsb.
Dengan demikian paguyuban hidup merupakan himpunan manusia dimana perhatian orang yang satu dengan yang lain ditujukan kepada segala hal yang perlu dan penting baginya dalam penghidupan dan kehidupannya tanpa pengecualian. Dengan kata lain bahwa semua orang yang terhimpun dalam kelompok itu merasa krasan dan omah (at his case dan at home)
Terdapat 4 pola sebagai cerminan dari kesatuan fungsional/paguyuban hidup:
1) Brayat mandiri yaitu suatu kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas hubungan suami istri yang sah. Intinya paguyuban hidup yang bernama brayat mandiri ini adalah suami dan istri, sedangkan idealnya terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya dan semua keturunannya yang sah yang diakui oleh mereka dan selanjutnya.
2) Somah seperut (somah sekandungan) adalah suatu kebulatan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas kewangsaan pancar/garis garis perempuan. Ia berinti kepada beberapa orang laki-laki dan perempuan yang bersaudara seibu dan ideal typik terdiri atas kelompok saudara-saudara yang menjadi intinya itu beserta keturunan pancar perempuan dari saudara-saudara perempuan.
3) Brayat besar patriarchaal
Kesatuan fungsional ini disebut brayat besar karena berisi beberapa nuclear family/nuptial family/conjugal family yang semua menunjuk pada perkembangan brayat. Disebut patriarchaal karena lazimnya berpangkal pada seorang bapak asal dan diurus olehnya atau oleh pengganti kedudukannya oleh seorang patrial.
4) Brayat diikuti suatu clan pancar laki-laki
Brayat ini lain dengan brayat mandiri karena ia mendapat pengaruh dari ketunggalan silsilah dan clan antara lain:
a) Sebagai anggota desa, brayat ini tidak berdiri sendiri sebagai individu tetapi berkualitas sebagai anggota clan atau ketunggalan silsilah.
b) Dalam perkawinan berlaku sistem exogami.
c) Keanggotaan clan hanya dapat diteruskan oleh keturunan laki-laki pancar laki-laki.
VII. HUKUM TANAH
A,. HAK ULAYAT DAN HAK PERORANGAN
1.Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, genus, slam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya sebuah desa untuk menguasai seluruh seisinya dalam wilayah hukumnya.
Adapun ciri-ciri hak ulayat adalah :
- Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah persekutuan.
- Orang luar hanya boleh menggunakan tanah itu dengan ijin penguasa persekutuan.
- Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya.
- Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
- Hak ulayat tidak dapat diperalihkan dengan cara apapun juga
- Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.
Hak ulayat ini berlaku ke dalam dan berlaku keluar. Berlaku ke dalam berarti semua warga persekutuan sebagai kesatuan melakukan hak ulayat dengan memetik hasil dari tanah serta tanaman dan binatang di atasnya. Dalam hal ini dilakukan pembatasan terhadap kebebasan usaha atau kebebasan gerak warga persekutuan sebagai perorangan untuk kepentingan persekutuan. Berlaku ke luar berarti bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan turut menikmati hasil tanah nyang merupakan wilayah persekutuan kecuali telah membayar pancang (Jawa: mesi; Aceh: uang pemasukan).
Adapun obyek hak ulayat meliputi tanah/daratan, air/perairan seperti sungai, danau, pantai beserta perairannya, tumbuh-tumbuhan yang hidup liar dan binatang yang hidup liar.
2.Hubungan Hak Ulayat dan Hak Perorangan
Dalam hubungan hak ulayat dengan hak perorangan terdapat hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Pada kaitan ini bersifat mengembang dan mengempis. Artinya semakin kuat hak perorangan akan semakin lemah hak ulayatnya, demikian sebaliknya jika semakin kuat hak ulayat maka akan semakin lemah hak perorangannya.
Kedudukan Hukum Adat, hak ulayat dalam Hukum Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut:
a. Hukum Adat sebagai dasar terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
b. Hak ulayat diakui keberadaannya dalam UUPA, yaitu pada pasal 3 sepanjang hak ulayat itu masih ada.
c. Warga persekutuan yang mempunyai ciri sebagaimana yang tercantum pada huruf a, hak ulayat ditingkatkan menjadi hak WNI.
d. Tujuan ciri seperti huruf c, dipakai sebagai dasar penentuan pemilikan minimal atau maksimal tanah pertanian dalam UU Nomor: 56 Prp 1960.
B. Hak Perorangan
- Pengertian Hak Perorangan
Hak perorangan adalah suatu hak yang diberikan kepada warga desa atau orang luar atas sebidang tanah yang ada di wilayah hak ulayat.
- Jenis-jenis hak Perorangan
1) Hak milik, hak yasan (inlandbezitsrecht)
2) Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
3) Hak menikmati hasil (genotsrecht)
4) Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap atau mengolah (ontginningsrecht)
5) Hak keuntungan jabatan (ambtelijk profitrecht)
6) Hak wenang beli (naastingsrecht)
- Cara Perolehan Hak Milik
1) Membuka tanah hutan atau tanah belukar
2) Mewaris tanah
3) Menerima tanah karena pembelian, penukaran atau hadiah
4) Daluwarsa (verjaring)
Dalam masalah melakukan Hak membuka tanah bagi masyarakat hukum Adat harus diperhatikan dua hal agar tanah yang dibuka itu tidak menimbulkan kegoncangan;
- Pembukaan tanah harus menghormati:
1) Hak ulayat
2) Kepentingan warga desa yang lain
3) Aturan hukum Adat
- Tata cara pembukaan tanah:
1) Memberitahukan kepada kepala persekutuan hukum
2) Memberi tanda-tanda batas
3) Mengadakan upacara adat
Dengan mengindahkan hal- hal sebagaimana yang ditentukan dalam tata cara tersebut, maka pembukaan tanah itu menjadi terang, kongkrit dan religious sesuai dengan asas publisitet dan religies yang merupakan sifat Hukum Adat.
VIII HUKUM TANAH
A. Pengaruh raja
Pada kenyataannya raja-raja juga mempunyai pengaruh dalam perkembangan Hukum Tanah, pengaruh tersebut dapat berupa dua kemungkinan; yaitu merusak pengaturan Hukum Tanah dan dapat juga memperkuat pengaturan Hukum Tanah.
B. Pengaruh Pemerintah Kolonial
Pengaruh pemerintahan kolonial dalam Hukum Tanah yang cukup penting adalah sebagai berikut:
Pajak bumi atau landrent dari Raffles
Cultuurstelsel dari Gubernur Jenderal Van den Bosch
Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit, Domein Verklaring
Vervreemdingsverbod (S. 1875 No. 179)
C. Pengaturan Hak Perorangan Dalam UUPA
1 Hak-hak yang ada di dalam UUPA sebagaimana yang termuat dalam pasal 6-undang-undang ini.
2. Cara perolehan hak perorangan khususnya hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan cara perolehan dalam Hukum Adat
3. Fungsi sosial di dalam hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan yang ada dalam Hukum Adat.
IX. HUKUM PERKAWINAN ADAT
A. Pengertian Perkawinan
Menurut MM Djojodigoeno, perkawinan merupakan upacara saja, upacara itu merupakan inisiasi (pemasukan) dalam keadaan yang baru; yaitu keadaan orang-orang yang telah penuh perkembangan hidupnya sehingga menjadi orang yang penuh bernilai dalam masyarakat. Oleh karena mereka sebagai pemimpin dalam paguyuban yang disebut keluarga (somah) dan mengatur hal ikhwal hidup mereka berdua dan hidup anak-anaknya tanpa batasan apapun juga.
Hilman Hadikusuma, menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Selain itu, menurut Van Gennep perkawinan adalah suatu upacara rites de passage (upacara peralihan). Upacara peralihan tersebut melembagakan perubahan status diri mereka berdua, dari tadinya hidup terpisah tetapi setelah melalui upacara-upacara tertentu menjadi hidup bersama sebagai suami isteri. Adapun tiga tahapan menuju hidup bersama sebagai suami isteri menurut Gennep adalah rites de separation (upacara perpisahan pelepasan dari status semula), rites de marge (upacara perjalanan menuju ke status baru), dan rites d ‘aggregation (upacara penerimaan ke dalam status baru).
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan perkawinan adalah ikatan lahir-batin anatara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
B.Asas-asas Perkawinan
Menurut Hukum Adat suatu perkawinan bukan semata-mata ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, tetapi juga bermakna suatu hubungan hukum yang menyangkut pra anggota kerabat dari pihak suami ataupun dari pihak isteri. Oleh karena itu, perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agamanya dan atau kepercayaannya tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabatnya. Pengakuan anggota kerabat menjadi penting karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami isteri yang tidak diakui oleh adat.
Perkawinan, selain terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dapat juga dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh Hukum Adat. Selain itu, menurut Hukum Adat perkawinan dapat pula dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Apabila terjadi perkawinan antara anak yang belum cukup umur dan orang yang sudah cukup umur, maka perkawinan itu harus mendapatkan izin dari orang tuanya atau kerabatnya.
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah asas perkawinan, alasan kawin lebih dari seorang isteri dan syarat-syarat poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5. Persyaratan yang diatur pada pasal 4 UU Perkawinan ini dikenal dengan persyaratan alternatif, sedangkan pasal 5-nya dikenal dengan persyaratan kumulatif dalam poligami.
C. Sistem Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat terdapat beberapa sistem perkawinan yang mendominasi aturan di masyarakat, yaitu :
a. Endogami, dalam masyarakat yang mengatur perkawinannya dengan sistem ini, konsekuensinya seorang laki-laki diharuskan mencari calon isteri yang berasal dari lingkungan kerabatnya (keluarga, klan, atau suku sendiri).
b. Exogami, menurut sistem perkawinan ini, seorang pria yang akan melangsungkan perkawinan diharuskan mencari calon isteri berasal di luar marga atau kerabatnya.
c. Eleutherogami, dalam sistem perkawinan ini seorang laki-laki tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri di dalam atau di luar lingkungan kerabatnya.
D, Bentuk –bentuk Perkawinan
Pada umumnya menurut Hukum Adat walaupun orang sudah dewasa tetapi tidak berarti bebas untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan dari orang tua atau kerabatnya. Oleh karena itu, jika bertindak sendiri dalam melakukan perkawinan dapat berakibat orang yang bersangkutan menjadi tersingkir dari kerabatnya. Dalam masalah perkawinan, perlu persetujuan orangtua lebih penting dari pada persetujuan calon mempelai.
Dalam sistem hukum adat dikenal 3 bentuk perkawinan yaitu:
1. perkawinan dengan pembayaran jujur
Perkawinan dengan pembayaran jujur terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatannya patrilineal seperti di Batak, Lampung, bali, papua< Nusatenggra dan lain-lain. Pembayaran jujur berfungsi untuk memutus keanggotaan calon istri dengan kerabatnya dan memasukkan keanggotaan istri ke dalam kerabat suami.
2. Perkawinan semenda
Perkawinan semenda terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatnnya matrilinela seperti di Minangkabau. Dalam perkawinan semenda calon pengantin laki-laki tidak membayar jujur kep[ada kerabat calon pengantin wanita, tetapi justru mendapatakan uang jemputan. Bentuk perkawinan Semenda yang asli adalah semenda bertandang yang dalam hal ini suami hanya datang pada waktu malam hari ke rumah istri sedan gkan pada siang hari akan keluar mencari nafkah. Dalam perkawinan semenda status keanggotaan suami tetap sebagai anggota kerabatnya dan tidak masuk ke dalam anggota kerabat istri.
3. Perkawinan mentas/ mencar/ bebas
Perkawinan mentas terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatannya parental, seperti di Jawa dan Madura. Setelah melaksanakan perkawinan maka mempelai berdua membentuk rumah tangga baru.
X. HUKUM PEWARISAN ADAT
A. Pengertian Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
B. Perbandingan Sifat Hukum Waris
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
a. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
- Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
- Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
C. Asas Hukum waris
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.
D. Sistem Hukum Waris
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
a. Sistem Kolektif,
Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
b. Sistem Mayorat,
Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
- Sistem Individual,
Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.
XI. HUKUM DELIK ADAT
A. Pengertian Hukum Delik Adat
Sebagaimana diketahui bahwa istilah hukum Pidana adalah terjemahan dari istilah Belanda “adat delicten recht” atau hukum pelanggaran adat. Adapun pengertian hukum delik Adat menurut Ter Haar menunjukkan adanya perbuatan sepihak yng oleh pihak lain dengan tegas atau secara diam-diam dinyatakan sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan. Menurut Van Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.
B. Sifat dan Sistem Hukum Delik Adat
Sifat Hukum Delik Adat dikatakan menyeluruh dan menyatukan, hal ini dikarenakan latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, yang satu dianggap bertautan atau dapat dipertautkan dengan yang lainnya. Hal demikian mengakibatkan yang satu tidak dapat dipisah-pisahkan dengan yang lain.
Di samping itu, Hukum Delik Adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana, dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Apabila terjadi pelanggaran, maka yang diperhatikan bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi juga dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya.
Tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang mengganggu keseimbangan tidak saja dapat ditindak terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungjawabannya kepada keluarga atau kerabat pelaku atau masyarakat adatnya. Sedangkan lapangan berlakunya hukum delik Adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, kekuatan berlakunya sangat tergantung pada tempat, waktu dan keadaan dimana delik itu terjadi.
Adapun sistem hukum delik Adat dijiwai Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat magis religius, yang diutamakan bukanlah keadilan perorangan tetapi rasa keadilan kekeluargaan. Dalam mempertimbangkan masalah bukan keputusan yang penting, tetapi penyelesaian yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan.
Sistem pelanggaran yang dianut dalam hukum delik Adat adalah terbuka, tidak tertutup seperti hukum Pidana barat yang terikat pada ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUH Pidana. Dalam hukum delik Adat untuk melihat perbuatan salah, tidak dilihat apakah perbuatan itu karena dolus atau culpa tetapi dilihat akibatnya. Apakah akibat suatu perbuatan itu diperlukan koreksi dan reaksi yang berat atau ringan, apakah cukup dibebankan pelaku saja atau keluarga, kerabat dan masyarakat adatnya. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang dianut oleh hukum Pidana barat, bahwa perbuatan salah itu dititik beratkan pada perbuatan karena dolus atau culpa saja. Jika dikarenakan culpa akibatnya hukumannya akan menjadi lebih ringan dari pada perbuatan itu dikarenakan dolus.
Pertanggungjawaban terhadap kesalahan menurut hukum delik Adat tidak membedakan pelaku itu waras atau gila, yang dilihat akibatnya. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian atau penyelesaian sebagai akibat perbuatan orang gila kepada pihak keluarga/ kerabatnya. Berbeda dengan prinsip pertanggungjawaban hukum Pidana barat, jika pelaku tidak waras/ gila tidak dapat dihukum dan tidak dapat menuntut kepada pihak keluarganya.
Menurut hukum delik Adat perorangan, keluarga, kerabat yang menderita kerugian sebagai akibat kesalahan seseorang, dapat bertindak sendiri menyelesaikan dan menentukan hukuman ganti kerugian dan lain-lain terhadap pihak pelaku yang telah berbuat salah, tanpa menunggu kerapatan atau keputusan petugas hukum Adat. Di samping itu, hukum delik Adat tidak mengenal perbuatan yang bersifat “membantu berbuat” atau “membujuk berbuat” atau “ikut berbuat” sehingga perbuatan itu merupakan rangkaian yang menyeluruh.
C. Delik-delik Tertentu
Dalam hukum delik Adat beberapa jenis delik dapat digolongkan menjadi delik yang berat dan segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang mengganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib.
Selain itu, delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat adalah seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, inses, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan sebagainya.
D. Peradilan Adat
Peradilan adat adalah acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, menyelesaikan suatu perkara, meliputi pemeriksaan perkara, yang berhak memeriksa, saksi-saksi dan sumpah. Istilah peradilan (rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaraan tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di muka pengadilan dan atau di luar pengadilan.
Dalam proses peradilan adat dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara perorangan, keluarga, tetangga, kepala kerabat/ adat, kepala desa atau oleh pengurus perkumpulan organisasi. Penyelesaian konflik ini diupayakan secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Pemulihan keseimbangan yang terganggu ini diutamakan dengan jalan kerukunan, keselarasan dan keharmonisan antara para pihak yang bersengketa.
Daftar Referensi:
Hadikusuma, Hilman, Pokok-pokok Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
________________, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
________________, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung.
________________, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta.
________________, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung.
________________, 1989, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.
________________, 2001, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Harahap, Yahya, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedijat, Imam, 1981, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
____________, 1981, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 2001, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemarman, Anto, 2003, Hukum Adat Perspektif Sekarang dan Mendatang, Adi Cita, Yogyakarta.
Wignjodipoero, Soerojo, tt, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar